Pendidikan Perdamaian Dalam Ulangan
oleh: Robi Prianto, M.Th
Perjanjian Lama memberi variasi yang
luas tentang konteks historis dan komunal untuk mengeksplorasi hakikat dari
belajar mengajar dalam komunitas orang Israel.
Kitab Ulangan menekankan pentingnya
meneruskan konten dan norma-norma utama yang mendasar bagi kehidupan dari
komunitas iman dari bangsa Israel yang harus ditaati dan diajarkan kepada
generasi berikutnya. Bisa dikatakan bahwa titik pijak pendidikan agama pada era
Israel, dan kemudian berkembang pada masa-masa sesudahnya terdapat pada Ulangan
6, utamanya ayat 1-2, 4-9.
Mandat pendidikan di dalam Ulangan
6:4-9 berisi mengenai kewajiban untuk menyampaikan perintah-perintah Allah
kepada generasi selanjutnya. Tujuan akhirnya adalah menanamkan kasih akan Allah
yang diekspresikan lewat kesetiaan dan ketaatan. Mengasihi Allah identik dengan
menjawab panggilan yang unik (Ul. 6:4), bersikap taat (Ul. 11:1-22; 30:20),
melakukan hukum Allah (Ul. 10:12; 11:1, 22; 19:9), mengindahkan dan
mendengar suara Allah (Ul. 11:13; 30:16), dan melayani (Ul. 10:12; 11:1, 13). Dalam
pengertian yang paling hakiki, Allah adalah guru di dalam pendidikan yang
alkitabiah.
Konten pendidikan dalam Ulangan pasal 6 bersifat esensial terdiri dari perintah, ketetapan, dan hukum Allah yang diperintahkan kepada Musa untuk diajarkan. Isi pengajaran bersifat mendasar dan radikal. Mendasar artinya menyediakan kebenaran yang mendasar dan menyediakan struktur untuk membangun semua aspek kehidupan. Sedangkan radikal berarti menyediakan akar bagi pertumbuhan seluruh kehidupan. Oleh karena itu, stabilitas dan pertumbuhan dapat terjadi sejauh isi pengajarannya didasarkan pada penyataan Allah.[1]
Misi pendidikan Kristen di dalam PL terdapat
di dalam Ulangan 6:6-9. Pertama, agar setiap peserta didik menjadi seseorang
yang mengenal Allah yang benar di dalam Yesus Kristus secara pribadi. Kedua,
menjadi murid Kristus yang berkomitmen bahwa Tuhan berdaulat penuh atas hidup
pribadinya meliputi semua aspek. Ketiga, menjadi hamba Kristus yang
selalu berjalan dalam pimpinan Roh Kudus, setia mentaati kehendak Tuhan sesuai
ajaran Alkitab yang berotoritas penuh dalam hidupnya. Keempat, menjadi
milik kesayangan Tuhan yang seumur hidup hanya memikirkan hal yang kudus,
berkenan dan memuliakan Tuhan.[2]
Jadi, penyelenggaraan Pendidikan
Kristen haruslah bertujuan untuk menolong manusia membangun kehidupannya di
atas dasar yang teguh yakni Alkitab. Inilah yang menjadi misi pendidikan
Kristen.
Dasar Hukum PAK di
Indonesia
Berbicara mengenai pendidikan Agama Kristen di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari yang namanya standar pendidikan nasional yaitu kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan Agama Kristen di Indonesia diatur di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian 9 Pasal 30.[3]
Tujuan
Pendidikan Perdamaian
Berbicara mengenai pendidikan Agama
Kristen di Indonesia memang tidak sama dengan Pendidikan Agama Kristen di
negara-negara lain. Di Barat Pendidikan Agama Kristen diberikan di luar
sekolah. Sedangkan di Indonesia Pendidikan Agama Kristen diberikan di sekolah
formal mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA/MA/SMK), bahkan sampai di Perguruan Tinggi (PT).
Negara Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku, bahasa, dan agama yang membawa pengaruh bagi sejumlah
agama dunia. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia menunjukkan akan
adanya kebebasan beragama di Indonesia. Pluralisme agama adalah realitas empiris yang tidak bisa
dipungkiri. Pluralisme dapat dikatakan sebagi salah satu ciri khas masyarakat
modern dan kelompok sosial yang paling penting dan mungkin merupakan pengemudi
utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan, masyarakat dan ekonomi.
Oleh karena latar belakang tersebut,
maka tujuan pendidikan harus selalu diformulasikan dengan memperhatikan konteks
budaya, keagamaan dan hal-hal lain yang berhubungan langsung ataupun tidak
langsung kepada manusia dimana manusia itu berada.
Metode
Pendidikan Perdamaian Kristen Dalam Konteks Indonesia
Dialogis
Ketika orang Kristen dan orang-orang
dari agama lain harus menghormati iman masing-masing dengan serius, maka mereka
pun harus mau membuka diri terhadap agama lainnya dengan cara membuka diri
melalui dialog. Seperti yang Yesus ajarkan kepada murid-murid-Nya maupun orang banyak, di
mana Yesus mengajukan pertanyaan yang baru sebagai tanggapan atas pertanyaan
yang sebelumnya diajukan kepada-Nya. Pada setiap tahap pertukaran pikiran,
orang yang diajak berdialog diarahkan untuk menggali pemahamannya lebih dalam
lagi.[4]
Dalam
kaitannya dengan masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat majemuk (suku,
agama, dan bahasa), maka masyarakat Indonesia tidak mempunyai pilihan selain
berdialog satu sama lain, untuk menghindari terjadinya konflik. Konflik muncul
di tengah-tengah masyarakat, tetapi hal tersebut biasanya terjadi ketika satu
kelompok mengklaim sesuatu hanya untuk dirinya sendiri. Menjadi masyarakat
Kristen Indonesia secara alami dituntut untuk berdialog dengan orang-orang dari
kepercayaan lainnya. Istilah dialog dipakai sebagai metafora inklusif bagi
hubungan antar-agama yang positif di antara masyarakat yang berbeda tradisi
imannya, yang sudah menjadi praktik aktual di antara kelompok masyarakat yang
berbeda.[5]
Semua agama yang ada di Indonesia haruslah
dapat duduk bersama-sama untuk berdialog mengenai apa yang harus dilakukan
bersama. Namun, di dalam berdialog antar-agama setiap perdebatan yang bersifat
dogmatis yang cenderung menimbulkan konflik dan memperluas jarak haruslah
dihindari. Nilai-nilai sosial yang sifatnya diperlukan dan dapat diterima oleh
semua agama perlu dibangun secara bersama-sama. Dalam konteks
masyarakat Indonesia, tokoh dan para pemimipin agama haruslah
memberi contoh serta teladan bagi masyarakat mengenai pentingnya saling
menerima perbedaan. Perlunya membangun tingkat kedewasaan emosional bagi setiap
golongan, karena membangun kebersamaan dalam perbedaan bukanlah hal yang mudah,
namun bukan yang mustahil untuk dilakukan, asalkan semua pihak mau berusaha.
Toleransi
Toleransi merupakan sikap penerimaan terhadap
perbedaan, baik itu bahasa, suku dan termasuk juga agama. Toleransi memerlukan
dialog untuk mengkomunasikan dan menjelaskan perbedaan, menuntut keterbukaan,
dan menerima perbedaan tersebut sebagai realitas hidup. Perbedaan tidaklah
diciptakan sendiri, melainkan sudah terbentuk dalam diri seseorang sejak dirinya
lahir. Sikap toleransi akan muncul dengan sendirinya ketika seseorang sudah
menyadari mengenai keberagaman yang ada disekitar mereka. Sistem pendidikan di
Indonesia dalam beberapa dekade ini selalu menitikberatkan pada pendidikan
karakter dan keberagaman untuk menghargai nilai-nilai pancasila sebagai lambang
pemersatu bangsa ini.
Pendidikan perdamaian harus dimulai
dari keluarga, sekolah, gereja, dan meluas ke masyarakat umum. Contoh penerapan
pendidikan perdamaian dalam keluarga adalah mengajarkan anak dalam
menyelesaikan suatu masalah dengan cara berdiskusi dan menyatakan pendapat
secara masing-masing dan diakhiri dengan mencari solusi bersama atas masalah
yang sedang dihadapi, dan bukan dengan sikap yang otoriter. Dari hal tersebut
anak diajak untuk memahami nilai-nilai yang berbeda dari setiap individu dan
memberikan pengertian kepada anak tersebut supaya dia bisa menerima perbedaan yang
terdapat pada orang lain.
Contoh penerapan pendidikan perdamaian
di sekolah adalah siswa diajak untuk melihat nilai budaya dan agama yang
berbeda dengan dirinya sehingga mereka mengerti dan bisa menghargai perbedaan.
Kelas di dekorasi dengan nuansa budaya yang beranekaragam sehingga siswa yang
berbeda budaya tidak merasa di tolak.
Selain itu, siswa pun harus diajar
untuk saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya. Sehingga mereka dapat
tumbuh menjadi generasi pembawa damai yang mengesampingkan perbedaan dan lebih
mengutamakan kebersamaan dalam keberagaman. Sebab membangun saling percaya merupakan
modal penting dalam membangun suatu bangsa yang besar seperti Indonesia, karena
bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen dalam banyak aspek.
Pembangunan hidup masyarakat suatu bangsa yang heterogen tidak akan terjadi
tanpa adanya saling percaya diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.
Perbedaan yang tidak ditangani dengan benar akan berpotensi menjadi pemicu
konflik yang mengakibatkan kehancuran suatu bangsa. Oleh karena itu semenjak
dini perlu ditanamkan sikap saling mempercayai satu sama lain terutama di dalam
lingkungan sekolah yang harus menjadi zona netral dari setiap perbedaan yang
ada. Saling percaya merupakan pondasi bagi terbangunnya sikap rasional, tidak
mudah curiga, dan bebas dari pra sangka buruk. Pendidikan agama haruslah
menjadi pondasi utama untuk membangun saling percaya terus menerus dalam
masyarakat Indonesia.
Gotong
Royong
Gotong royong merupakan istilah asli
Indonesia. Gotong royong merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama dan bersifat sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan
dengan lancar, mudah dan ringan. Gotong royong sudah menjadi budaya di dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, baik itu masyarakat perkotaan maupun pedesaan.
Adapun budaya gotong royong dilandasi oleh alasan yaitu manusia terikat dengan
lingkungan sosialnya, pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia
perlu menjaga hubungan baik dan selaras dengan sesamanya, manusia perlu
menyesuaikan dirinya dengan anggota masyarakat lainnya.
Pola hidup bersama yang saling
meringankan beban masing-masing pekerjaan merupakan strategi dari gotong royong.
Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup
antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan
nilai-nilai kehidupan. Gotong royong sebagai bentuk solidaritas sosial,
terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi
ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari
setiap warga sebagai satu kesatuan.
Gotong-royong dapat dikatakan sebagai
ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang
berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata
kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan
gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan
budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya.
Adanya sistem nilai membuat gotong-royong senantiasa dipertahankan dan
diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga gotong-royong akan selalu
ada dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan kondisi budaya komunitas yang
bersangkutan berada.[6]
Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong dalam suatu komunitas masyarakat yaitu pekerjaan menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya.
Kesimpulan
Pendidikan Kristen bisa dikatakan
berhasil, apabila bisa membawa peserta didik kepada perubahan karakter yang
buruk menjadi karakter Kristus, serta memiliki pola pikir yang benar dan
membawa mereka kepada pengenalan serta perjumpaan dengan Kristus secara
pribadi. Dalam konteks Indonesia perlu dikembangkan metode pendidikan
perdamaian yang sebenarnya sudah diajarkan oleh para pendiri bangsa ini, sehingga
bangsa ini bisa menjadi bangsa yang besar dan kuat, tidak mudah dipecah belah.
[1] Robert W Pazmino, Fondasi
Pendidikan Kristen: Sebuah
pengantar dalam perspektif Injili (Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 2011), 15-20.
[2] Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta:
Andi, 1994), 106.
[3] Undang-undang
No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian
Pendidikan Nasional) 3.
[4] Robert R, Boehlke, Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, Dari Plato sampai IG. Loyola (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 2005) 65-70.
[5] Ibid, 92-93.
[6] R.
Bintarto, Gotong-Royong : Suatu
Karakteristik Bangsa Indonesia (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), 24.
Post a Comment for "Pendidikan Perdamaian dalam Ulangan"