PROSES
TERBENTUKNYA KITAB DANIEL SEBAGAI TULISAN APOKALIPTIK
2.1 Nama
Kitab dan Istilah Apokaliptik
2.1.1 Nama Kitab
Di dalam AlKitab Ibrani, Kitab Daniel masuk ke
dalam Ketubim, sedangkan menurut terjemahan Yunani (Septuaginta), dan
terjemahan Indonesia, Kitab Daniel termasuk ke dalam Kitab nabi-nabi.[1] Arti kata Daniel menurut RGG (Die Religion im Geschicte und Gegenwart)
adalah “Allah adalah Mahakuasa”.[2] Sedangkan menurut Gertz, judul Kitab Daniel berasal dari nama
pahlawannya, yaitu Daniel. Lebih lanjut menurut Gertz, nama Daniel dapat
diterjemahkan sebagai ‘Allah (el)
menghakimi (dîn)’ atau ‘Allah
perkasa (dûn), hal tersebut
mengindikasikan tema programatik dari Kitab Daniel sendiri.[3] Kitab Daniel merupakan tulisan apokaliptik
Yahudi yang diakui oleh kalangan Kristen dan Yahudi dan dimasukkan ke dalam Kitab
Kanonik. Kitab Daniel ditulis dengan menggunakan dua bahasa yang
berbeda, yaitu Bahasa Aram dan Bahasa Ibrani.
Pada awal kemunculannya, tulisan
apokaliptik sering kali dipandang hanya sebagai mitologi semata atau bahkan
khayalan dari penulisnya sendiri. Begitu pula dengan Kitab Daniel yang
disejajarkan dengan Kitab Wahyu Yohanes, banyak yang menilai otoritasnya berada
di bawah Kitab-Kitab Kanonik yang lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu,
akhirnya orang-orang mulai sadar bahwa tulisan apokaliptik Kitab Daniel tidak
bisa dianggap lebih rendah dari Kitab-Kitab Kanonik yang lainnya, karena
melalui tulisan apokaliptik Daniel dan Wahyu, orang Kristen dapat memahami
bagaimana karya keselamatan diberikan oleh Allah kepada umat-Nya.[4]
Berkaitan dengan Kitab Daniel, yang
menjadi persoalan adalah seringkali ditafsirkan dan dikaitkan mengenai akhir
zaman yang dapat dihitung atau diperkiraan dengan mengkalkulasi angka-angka
yang terdapat dalam Kitab Daniel itu sendiri. Walaupun apokaliptik Daniel
berbicara pula mengenai eskatologi disertai dengan angka-angka waktu, namun
bukan berarti hal tersebut dapat ditafsirkan secara harafiah. Seharusnya hal
tersebut dipahami sebagai bagian dari rencana Allah yang tidak dapat diketahui
oleh siapapun juga kecuali oleh Allah sendiri.
Sebenarnya Kitab Daniel, tidaklah
memberikan ramalan-ramalan yang dapat diandalkan. Sebab Kitab Daniel merupakan
ungkapan-ungkapan simbolik yang tidak pernah benar-benar ditandaskan oleh salah
satu situasi. Karena Kitab Daniel dirancang untuk memotivasi para pembacanya
dan menopang mereka jika menghadapi masalah. Kebenaran di dalam tulisan
apokaliptik bukanlah mengenai rincian faktual, tetapi mengenai pernyataan yang
kuat pada pengertian bahwa dunia ini akan berlalu dan manusia tidak akan
berdiam selamanya di dalam dunia ini.[5]
Terlepas dari hal tersebut, Kitab Daniel merupakan salah satu kitab yang banyak disukai oleh kalangan
Yahudi, karena di dalam Kitab Daniel banyak diceritakan bagaimana pertolongan
Allah nyata terhadap umat-Nya. Kitab Daniel pun banyak memberikan pengharapan
dan penghiburan kepada orang-orang yang sedang mengalami penganiayaan pada masa
lampau terutama ketika zaman pemerintahan Antiokhus Epifanes IV, di mana Allah akan membebaskan mereka
dari kesesakan yang sedang dialami. Dalam Kitab Daniel juga terkandung janji
Allah yang akan memberikan keselamatan bagi setiap umat-Nya yang setia, di mana
mereka akan mendapatkan tempat di dalam Kerajaan yang akan didirikan oleh
Allah.
Implikasi dari Kitab Daniel sebagai Kitab apokaliptik bagi orang Kristen saat ini adalah seperti halnya
orang-orang Yahudi yang sedang mengalami penganiayaan yang berat dan
mendapatkan pengaharapan dan penghiburan melalui pertolongan yang Allah berikan
kepada mereka. Begitu pula dengan orang Kristen saat ini, meskipun banyak orang
Kristen yang mengalami penganiayaan dan penderitaan karena imannya, namun satu
hal yang pasti bahwa dibalik semuanya itu Allah sudah menyediakan tempat yang
indah sebagai ganjaran dari kesetiaan. Dan Allah juga menjanjikan bahwa tidak
akan selamanya kejahatan terus berkuasa atas dunia ini. Namun, Allah akan
mengalahkan kuasa kejahatan tersebut dan menggantikan dengan Kerajaan-Nya yang
penuh dengan kemuliaan.
2.1.2 Istilah Apokaliptik
Istilah Apokaliptik berasal dari kata Yunani yaitu apokalipsisis yang artinya menyingkapkan,
membukakan. Sesuatu yang sebelumnya tersembunyi, sekarang terungkap.[6] Kata apokaliptik merupakan sebuah ungkapan teknis yang dipakai
oleh Gereja Kristen mulai abad ke-2 untuk menunjukkan suatu jenis sastra yang
erat hubungannya dengan Wahyu kepada Yohanes dalam Perjanjian Baru; dari
sinilah kata itu kemudian menjadi sebutan untuk gaya penulisan seperti itu.
Maka pada hakikatnya, kata apokaliptik sendiri merupakan sebuah kata yang
begitu luas cakupannya.[7]
Istilah tersebut kemudian dikenakan kepada semua tulisan sejenis. Akan
tetapi batasan istilah ini sangat
sulit. Walaupun demikian, istilah ini tetap digunakan untuk seluruh tulisan
apokaliptik. Robert H. Maunce mengatakan bahwa tidak mungkin menetapkan definisi yang tepat mengenai pengertian Apokaliptik ini.[8] Russell
mendefinisikan apokaliptik sebagai suatu wawasan keagamaan tertentu yang
diperlihatkan di dalam apokalipsis yang dicirikan oleh perenungan-perenungan
khas mengenai “hal-hal terakhir” dan penghakiman yang segera datang. Sedangkan
eskatologi apokaliptik adalah ungkapan kepercayaan mengenai “hal-hal terakhir”
yang ditemukan dalam tulisan-tulisan yang mengemukakan wawasan apokaliptik.[9]
J.J. Collins menjelaskan bahwa istilah apokaliptikisme merujuk pada
himpunan ide-ide yang diorientasikan secara eskatologis yang dicirikan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah adanya suatu skema sejarah secara kronologis,
adanya teologi mengenai suatu perkembangan sejarah yang negatif dan terakhir
adamya refleksi-refleksi mengenai masa depan orang-orang mati. Secara formal apokalipsisis
meliputi penggambaran visi-visi fiktif yang disajikan sebagai pembahasan
mengenai suatu masalah oleh si pelihat dan Allah atau seorang malaikat. Si
pelihat entah diberi intruksi mengenai akhir zaman dalam sejarah, seperti
Daniel, atau dibawa ke dalam perjalanan spiritual menuju surga, seperti Henokh.
Dalam hal isi, apokalipsis menangani hubungan antara sejarah dunia atau sejarah
manusia dan kerajaan Allah. Secara kebahasaan, apokalipsis bekerja dengan
rujukan-rujukan, simbol-simbol, dan numerik yang bersifat mistis. Penerima
utamanya adalah lingkungan orang saleh yang dinasehati dan dihibur saat mereka
sedang menghadapi krisis politik dan religious. Contohnya, suatu apokalipsis
menangani penafsiran atas masa kini, yang dipahami sebagai akhir zaman, tidak
menangani ramalan-ramalan mengenai masa depan. Agar teks mereka memiliki
otoritas khusus, para pengarang mengenakan apokalipsis jubah otoritas dari
seorang figure sejarah keselamatan atau dari figur primordial. Oleh karena itu,
apokalipsis meliputi pseudepigrafi.[10]
Tradisi apokaliptik adalah
sebuah tradisi yang muncul di antara orang Yahudi dan Kristen untuk menunjukkan
sebuah ratapan, kisah-kisah tentang surga dan duniawi, kemanusiaan dan Tuhan, malaikat-malaikat,
setan-setan/iblis, hidup dunia pada masa kini dan masa yang akan datang. Akan
tetapi mengenai asal-usul sastera
ini sangat sulit dipastikan. Ada beberapa pendapat yang berkembang
mengenai hal ini; seperti yang dikemukakan oleh Betz jika apokaliptik
merupakan fenomena helenistik. Sedangkan Conzelmann & Agus
Santoso, mengatakan apokaliptik merupakan perkembangan dari agama Iran. Sementara Leon Morris,
bersikeras bahwa pada dasarnya apokaliptik itu merupakan fenomena Yahudi dan
Kristen.[11]
Tradisi apokaliptik kemungkinan
muncul dalam tradisi kenabian Israel, dan diperkirakan muncul beberapa
abad setelah masa peran kenabian dalam Israel berakhir. Nabi terakhir
dari Israel adalah Maleakhi (450 sM). Dalam AlKitab ada dua tulisan
apokaliptik, yaitu Kitab Daniel dalam Perjanjian Lama dan Wahyu
dalam Perjanjian Baru, dua contoh Kitab tersebut merupakan bentuk tulisan apokalptik
yang baik karena mengikuti tradisi buku-buku Yahudi dan
Kristen.[12]
Teks-teks apokaliptik sendiri
merupakan uraian mengenai peristiwa masa depan, dan pada umumnya lahir pada
masa-masa terjadinya krisis besar dalam kehidupan politik. Apokaliptik tumbuh
dan berkembang di dalam kehidupan bangsa Israel pada masa intertestamental.[13] Dalam sejarah bangsa Yahudi,
apokaliptik tumbuh dan berkembang sejak abad ke-6 SM ketika
kerajaan Israel diserang oleh Babel dan mereka hidup penuh
penderitaan dan keputusasaan dalam pembuangan di Babel. Harapan dan
janji kemenangan yang berulang kali disampaikan oleh para nabi, walaupun tidak
kunjung terpenuhi akibat hambatan-hambatan politik dan keagamaan, dari waktu ke waktu memperkuat keyakinan bangsa
Israel bahwa tanah yang dijanjikan dan kedatangan mesias atau juru selamat
pasti akan terpenuhi juga.
Yehezkiel,
Yeremia, Yesaya dan Zefanya dianggap sebagai peletak dasar dari apokaliptisisme
Yahudi. Yehezkiel mengatakan bahwa Allah identik dengan wahyu dalam Kitab Suci.
Dengan demikian turunnya wahyu, merupakan kehadiran Allah di tengah umat
manusia. Karena pandangan apokaliptik tertulis dalam Kitab Suci, maka
sebenarnya Allah sendirilah yang menyingkapkan tanda-tanda datangnya akhir
zaman berikut ketentuan waktunya. Menjelang akhir abad ke-3 sM
banyak sastra yang dihasilkan dunia Yunani termasuk munculnya
sastra apokaliptik. Pada masa ini juga terjadi
proses penulisan Kitab Suci tulisan Ibrani ke terjemahn
Yunani (septuaginta). Kanon[14]
Kitab Suci yang ditulis di Palestina dalam bahasa Ibrani atau Aram,
beberapa diantaranya tergolong apokaliptik, yang kemudian hari diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani dan dikenal di kalangan orang-orang
Yahudi diaspora (perantauan) yang berbahasa Yunani. Kemudian
diantaranya masuk ke dalam septuaginta yang akhirnya diambil
alih oleh gereja Kristen.[15]
Pada dasarnya unsur-unsur muatan
mengenai apokaliptik telah muncul dalam dunia Kanaan, mitos-mitos zoroaster,
peramal-peramal Babilonia, mitos-mitos Yunani, sejarah-sejarah Helenis,
keyahudian, orang-orang bijaksana dan kemungkinan dimunculkan oleh
pengarang-pengarang masa lampau.[16] Secara
khusus dalam Perjanjian Lama sastra apokaliptik ditemukan dalam Yesaya 24-27,
Yeremia 24:1-3, Yehezkiel 1-37, dan puncak dari apokaliptik
terdapat dalam Kitab Daniel. Diperkirakan apokaliptik berkembang pesat
pada masa-masa penganiayaan oleh Yunani sekitar tahun 250 sM sampai dengan masa
penganiayaan yang dilakukan bangsa Romawi terhadap orang Yahudi dan orang
Kristen sekitar tahun 100 M.[17]
2.1.3 Kaitan Apokaliptik dan Jenis-Jenis Sastera Lainnya
Para ahli berbeda-beda pendapat dalam melihat kaitan antara sastera apokaliptik dengan sastera
lainnya. Berikut pandangan beberapa ahli mengenai hal ini. Rowley berpendapat bahwa sastera
apokaliptik lahir dari tradisi kenabian. Sedangkan Russel, berpendapat bahwa apokaliptik berasal dari banyak sumber
karena bagi Russel apokaliptik
berakar pada kenabian Ibrani. Namun Russel juga
mengatakan bawa apokaliptik tidak menggantikan kenabian. Akan tetapi apokaliptik mengadaptasikan dan
mengembangkan pesan yang sama dalam situasi yang baru (kenabian dalam idiom
yang baru). Pendapat Russel ini senada dengan pendapat Paul Hanson dalam karya penting dan terbarunya
yang berjudul, “the Down of Apocalyptic”, yang mengatakan, kebangkitan apokaliptik bukanlah sesuatu yang tiba-tiba, juga bukan tidak normal. Melainkan
eskatologi apokaliptik mengikuti dan perkembangannya tidak
menyimpang dari kenabian sebelum pembuangan dan kenabian zaman pembuangan.
Selain beberapa ahli di atas,
masih ada ahli lainnya yaitu, George
Ladd yang menyatakan bahwa apokaliptik
lahir dari lingkungan historis dan teologis. Hal tersebut mengacu pada
beberapa hal seperti; adanya konsep
sisa yang benar, yang setia kepada Taurat melawan sikap kompromi dengan
kejahatan. Lalu adanya kesetiaan kepada Taurat mendatangkan
penderitaan, karena penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, dan berhentinya kegiatan kenabian, ketika orang
Israel membutuhkan penjelasan yang ialhi tentang keadaan sejarah yang mereka
alami.
Mereka yang sangat menekankan keterkaitan tradisi kenabian dengan
apokaliptik (salah satunya Robert H. Mounce) berpendapat bahwa, nabi-nabi, terutama menekankan tanggungjawab etika pada masanya. Sedangkan apokaliptik berfokus pada masa yang akan
datang, ketika campur tangan Allah menghakimi dunia dan menegakkan kebenaran. Menurut
Barnabas Ludji, tidak bisa
dipungkiri bahwa kenabian merupakan akar dari pemberitaan tulisan-tulisan apokalipsis. Namun pengaruh sastera Taurat terasa dalam tulisan-tulisan
apokalipsis. Penekanan pada
ketaatan kepada Taurat pada masa helenis begitu kuat ditekankan, seperti
peraturan makanan haram dan halal yang
dalam Kitab Daniel.
Namun menurut Barnabas Ludji, keterkaitan sastera apokalipsis dengan
sastera-sastera lain dalam PL bisa terjadi, karena sastera lainya juga merupakan
sastera-sastera yang sudah dikenal secara luas. Walaupun harus diakui kedekatan apokaliptik dengan kenabian lebih menonjol,
secara khusus Kitab Daniel yang berkaitan dengan Taurat, soal makanan haram dan
halal..[18]
2.1 Waktu
Penulisan Kitab Daniel
Banyak silang pendapat dari para teolog Kristen mengenai waktu penulisan
dari Kitab Daniel. Setiap argumen yang dipakai memiliki dasar masing-masing
yang melandasi pendapat mereka. Menurut John J. Collins, apokaliptik
Kitab Daniel tidak ditulis oleh Daniel yang diceritakan dalam Kitab Daniel,
tetapi ditulis oleh penulis lain yang lebih dari satu orang, yang disusun pada
abad ke-2 sM. Nama tokoh masa lampau seperti Daniel dimasukkan untuk memberi
wibawa pada kitab tersebut.[19]
Penulisnya diperkirakan berasal dari golongan orang-orang Yahudi yang saleh
(golongan Asidea atau golongan Khasidim),[20]
orang-orang ini juga disebutkan sebagai orang yang bijaksana,[21]
yang tidak memberi namanya sebagai penulisnya.[22] Kemungkinan
para penulisnya telah mendengar cerita mengenai riwayat tokoh Daniel sebagai
orang yang bijaksana dan seorang yang disayangi oleh Allahnya, yang
menyelamatkannya dari bahaya besar. [23]
Beberapa pandangan teolog Kristen
mengenai waktu penulisan Kitab Daniel:
Joyce G. Baldwin berpandangan
bahwa ada perdebatan dalam catatan sejarah terkait pasal 1-6 dan bahasa asli yang digunakan untuk menulis Kitab
Daniel yang tidak mengharuskan atau sebagai dukungan pada abad ke-2 sM
penulisan Kitab ini. Harus lebih memperhatikan hal yang spesifik terhadap
penanggalan dan kesatuan Kitab ini.
Penulis dengan jelas memberikan
informasi tentang titik/tempat awal Kitab Daniel. Menurut Daniel 1:1, Daniel
dibawa ke Babel dalam tahun 605 sM, dan tinggal di Babel hingga tahun 537
(10:1). Berdasarkan data ini, maka Daniel telah berusia lebih dari 80 tahun.
Meskipun data yang diperoleh hingga tahun 537 sM, ini bukan berarti memberikan
informasi terakhir tentang tahun peristiwa yang terjadi dalam Kitab Daniel.
Karena nubuatan yang diberikan dalam Kitab Daniel bisa saja terjadi dalam abad
ke 5, 4, 3 bahkan hingga abad ke-2 sM. Jadi menurut Baldwin, pasal 1-6 dan
pasal 11merupakan peristiwa sejarah, lalu pasal 7-10 dan pasal 12 adalah
apokaliptik. Contohnya, Heaton memberi
tanda bahwa perubahan dari peristiwa sejarah kepada nubuatan pada pasal 11:40, dan
membuktikan bahwa hal ini memberikan penanggalan dari susunan akhir Kitab
Daniel.
“Penulisan waktu tahun 165-164 sM, menurut
Baldwin, penulis Kitab Daniel ingin menunjukkan keadaan sudah mendekati
kehancuran dari kerajaan keempat, ketika Allah akhirnya mengambil alih
kekuasaan dan pemerintahan”. Sementara itu penulis Kitab Daniel telah
menetapkan hingga tahun 165 sM, dari bagian ini penulis Kitab Daniel menyatakan
mengesampingkan gerakan Antiokhus, sehingga menyangkal fakta bahwa penulis Kitab
Daniel sedang menuliskan nubuatan dan bukan peristiwa sejarah yang terjadi.
Jika hal ini yang terjadi, maka akan menjadi masuk akal bahwa Kitab Daniel
ditulis hanya dalam jangka waktu 1 tahun. Meskipun alasan ini dibuat dengan
begitu rapinya, namun masalah ini tidak dapat berhenti sampai di sini, karena
penanggalan Kitab Daniel ini terkait dengan tempat asalnya, kesatuan dari
kepenulisannya, argumen terhadap
penanggalan pada abad ke 2 sM dan bukti2 dari gua Qumran.
Berkaitan dengan penanggalan Kitab
Daniel maka dua hal yang harus diperhatikan:
1.
Apakah
hanya satu tempat asal?
Beberapa ahli PL menuliskan dan
setuju bahwa Babel adalah tempat asal tentang peristiwa yang terjadi dalam Kitab
Daniel, yang dinyatakan dalam pasal 1-6. Tidak ada masalah tentang penetapan
waktunya pada abad ke 6 sM. Argumen bagi yang menyatakan bahwa Babel sebagai
tempat asal dalam pasal 1-6, dikuatkan oleh penemuan naskah Kitab Daniel di gua
Qumran tentang “Doa Nabonidus/Nabinadab”.
Pasal 7 menjadi subjek khusus dalam
mempelajari Kitab ini, meskipun hal ini termasuk dalam penglihatan pada pasal-pasal
berikutnya dan menjadi pengantar bagian ke-2 dari Kitab Daniel (pasal 8-12), yang
merupakan bagian terakhir dari pasal-pasal yang bertuliskan bahasa Aram, yang
memiliki hubungan dengan pasal 2. Hal ini telah dibuktikan bahwa pasal 7
mengacu pada bagian pertama Kitab Daniel. Dengan demikian, setidaknya dalam
bentuk aslinya, hal ini mengacu pada tahap pra-Makabe. Dengan demikian dapat
dilakukan dengan seimbang perbedaan antara pasal 1-7 dan pasal 8-12.
Sejumlah bukti tertentu telah
ditambahkan untuk mendukung teori bahwa penglihatan pada pasal 7 memiliki
keparalelan dengan daerah Timur Dekat Kuno (Palestina) yang bertentangan dengan
sejarah. Penulisan sejarah Asia didasarkan rangkaian tahun-tahun pergantian
kekuasaan kerajaan antara Asyur, Media dan Persia. Dalam eksegesis Kitab
Daniel, konteks situasi orang Asia yang bertentangan dengan sejarah kaum
Yunani, tidak akan tersembunyi lagi. Kaum pemberontak Makabe adalah hanya
bagian dari hal itu. Hal ini dapat dimengerti dalam kaitannya dengan kekuatan
melawan kepercayaan paham Yunani, yang hal ini telah dimulai oleh orang-orang
Asia pada ratusan tahun lebih dahulu.
2.
Apakah
lebih dari 1 penulis?
Dengan menerima 6 atau 7 pasal
pertama (pasal 1-7) dan penanggalan yang diberikan, mengasumsikan bahwa Kitab
Daniel memiliki penulis lebih dari 1 orang. Argumen keberbedaan bahasa yang
digunakan juga mengindikasikan bahwa penulisan kitab ini juga berbeda-beda. Hal
ini terkait dengan gabungan beberapa penulis dalam Kitab Daniel ini menimbulkan
sedikit tanda atas dugaan sudut pandang yang berbeda. Seperti sebuah karya
sastra yang menyatakan kesatuan tujuan dan disainnya.
Jadi, menurut Baldwin, pemisahan-pemisahan
yang dilakukan baik dari segi penanggalan (waktu penulisannya), bahasa maupun
bagian-bagian yang berbeda antara pasal 1-6 dan pasal 7-12, tidak dapat menjadi
acuan yang menyimpulkan bahwa kepenulisan yang berbeda juga. Bagian-bagian yang
dianggap memisahkan pasal-pasal menjadi 2 bagian, masih punya keterhubungan
satu sama lainnya dan hanya orang-orang tertentu saja yang memisahkan hal ini
sehingga menimbulkan asumsi kepenulisannya lebih dari 1 orang. Namun bagian-bagian
dari pasal-pasal yang ada tetap membuktikan bahwa kepenulisan Kitab Daniel
memiliki satu kesatuan dari satu penulis yang sama.
2.2.2 Tim Meadowcroft & Nate Irwin [25]
Meskipun semua tulisan dan
penglihatan yang terjadi dalam Kitab Daniel begitu jelas terjadi pada masa
pembuangan, namun tidak dapat dikatakan bahwa Kitab Daniel ditulis pada masa
tersebut. Ada 3 keadaan/pandangan yang diambil untuk melihat kapan Kitab Daniel
ditulis:
1.
Pandangan berdasarkan peristiwa dalam Kitab
Daniel di mana keseluruhan Kitab diambil dari penanggalan periode peristiwa itu
terjadi, yaitu pada abad ke-6 pada masa pembuangan. Pandangan ini berangkat
dari asmumsi bahwa peristiwa dalam Kitab Daniel terkait dengan kesatuan waktu
secara kronologisnya. Pandangan ini menjelaskan sesuai latar belakang kerajaan
Persia yang dicatat pada 6 pasal pertama dari Kitab Daniel dan bukti nyata
bahwa penglihatan yang terjadi pada abad ke-6, serta dituliskan sebagaimana
yang disampaikan langsung oleh Daniel dengan terperinci.
2. Pandangan
lainnya di mana orang percaya menerima dan mengaitkan keseluruhan Kitab pada
fokus utama penggenapannya berkisar pada abad ke-2 sM sebagai petunjuk sejarah
yang dicatat sebelumnya. Pandangan ini pun berangkat dari asumsi bahwa
peristiwa dalam Kitab Daniel terkait dengan kesatuan waktu secara
kronologisnya. Menurut pandangan ini, waktu penulisan Kitab Daniel berdasarkan
penafsiran pada peristiwa sejarah yang paralel antara penglihatan pada pasal 11
dengan peristiwa kerajaan Yunani dan Ptolomik. Akan tetapi yang menjadi
persoalannya adalah jika pasal 11:1-40 dianggap prediksi peristiwa yang
digenapi pada abad ke-2 dan abad ke-3 sM, mengapa prediksi tersebut berbeda
dengan pasal 11:40? Oleh karena itu, waktu penulisan menurut pandangan ini,
lebih sulit untuk ditafsirkan.
3.
Pandangan ke -3 sebagai penengah dari
kedua pandangan tersebut yang dapat diadopsi. Pandangan ini menyatakan bahwa
kumpulan kisah dari masa pembuangan Persia yang membentuk dasar penulisan pasal
1-6 dan kemungkinan juga pasal 7. Hal ini jelas dari struktur sosial yang menggunakan
bahasa Aram pada abad ke-6 sM. Penglihatan pada pasal 7-12 lebih cocok terjadi pada
abad ke-2 sM pada masa kerajaan Yunani. Kelemahan pandangan ini adalah beberapa
pengecualian bahwa penglihatan dituliskan oleh orang pertama yang juga termasuk
dalam abad ke-6 dicatat dari pengalaman Daniel sendiri.
2.2.3 John J. Collins
Waktu penulisan Kitab Daniel, dilatarbelakang pada masa Makabe, salah satu
alasannya adalah adanya peristiwa penting pada tahun 164 sM di mana Yudas Makabe melakukan pentahiran Bait
Allah. Selain itu masih ada alasan lain yang melatarbelakanginya. Menurutnya
pasal 1-6 Kitab Daniel bukanlah merupakan bagian dari dokumen sejarah, namun
berisi penjelasan lebih lanjut mengenai pengaruh timbal balik antara agama dan
politik.
Persoalan-persoalan lain, seperti persoalan mengenai Allah, atau keadilan
dari kuasa yang mengatur dunia, muncul dalam kaitan masalah mendasar tersebut.
Alasan mengapa keadilan Allah untuk sementara tidak pasti yaitu karena adanya
tatanan politik yang kacau. Agama yang dianiaya Antiokhus adalah agama orang
Yahudi. Apa yang dipermasalahkan bukan saja tata cara peribadatan mereka,
tetapi termasuk identitas orang Yahudi sebagai sebuah bangsa tersendiri dengan
cara hidup yang khusus. Dalam hal ini kaitan persoalan mengenai Allah terlihat
sebagai masalah dalam membedakan cara hidup Yahudi di tengah-tengah dunia yang
bermusuhan.
Di dalam bukunya ini John J. Collins mengajak para pembacanya untuk melihat
AlKitab dari sudut pandang metode dan pesan dari penulis Kitab itu sendiri
sebagai seorang manusia, dan bukan dari sudut pandang Allah. Bagi Collins hal
itu penting karena perspektif berbeda dari masing-masing Kitab memperlihatkan
kelayakan dan bahkan perlunya melakukan pendekatan tersebut. Setiap teologi
yang sungguh-sungguh menerima bahwa bahan AlKitab terjadi dalam sejarah, harus
bersifat induktif. Jadi setiap teori mengenai wahyu harus benar-benar
memperhatikan faktor-faktor sejarah dan sosial yang mempengaruhi terciptanya Kitab
tersebut.[26]
2.2.4 Kesimpulan
Jadi, kesimpulan mengenai waktu
penulisan Kitab Daniel menurut penulis, berdasarkan tiga pandangan di atas yaitu,
Kitab Daniel ditulis pada abad ke-2 sM. Alasannya adalah peristiwa-peristiwa
yang terjadi atau dicatat dalam Kitab Daniel merupakan sejarah pada masa
Helenisme sedang berkembang di daerah Palestina. Hal tersebut merupakan awal
dari kekacauan yang terjadi di Yerusalem, dan mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan Antiokhus Epifanes IV memerintah, di mana bangsa Israel dipaksa
untuk meninggalkan kebudayaan dan keyakinan mereka, lalu beralih kepada
helenisme. Bagi mereka yang melawan perintah tersebut dibunuh. Antiokhus
Epifanes IV menajiskan Bait Allah (mempersembahkan daging babi di atas altar
dan menempatkan altar dewa Zeus di atas altar Bait Allah) dan merampas semua
barang berharga di dalamnya.
Berkaitan dengan adanya pandangan
yang membagi Kitab Daniel menjadi bagian sejarah (pasal 1-6) dan apokaliptik
(pasal 7-12). Menurut penulis hal itu bukan berarti menjadi dua waktu penulisan
yang berbeda. Peristiwa yang dicatat dalam pasal 1-6 bertujuan untuk
mengingatkan kembali orang-orang Israel akan situasi zaman pembuangan di Babel
pada abad ke-6 sM. Apa yang pernah terjadi di Babel, terulang lagi pada abad
ke-2 sM.[27]
Sedangkan penggunaan nama Daniel diambil dari tokoh orang saleh bangsa Yahudi,
yang kemungkinan berasal dari golongann Asidea atau golongan Khasidim, dan
disebut juga sebagai orang bijaksana yang tidak memberi namanya sebagai
penulis.
2.3 Konteks
Sejarah (Sosial, Politik & Keagamaan)
Pada masa
pemerintahan Ptolomeus dan Seleukid percampuran keagamaan antara Yudaisme dan
helenisme yang hidup berdampingan membuat orang Yahudi tidak bergairah dan
sebaliknya mereka berusaha untuk mempertahankan tradisi nenek moyang
mereka, dan keterbukaan agama dan kebudayaan terhadap helenisme merupakan
ancaman besar bagi kehidupan mereka. Orang Yahudi memahami janji
Allah melalui nabi-nabinya dan sama sekali bertentangan dengan janji
dalam konsep kebudayaan helenisme suatu zaman baru, yang didalamnya orang
mengalami pembebasan dan pikiran serta kesadaran mereka dibukakan. Di tengah
tantangan tersebut orang Yahudi mengalami pertentangan antara
pengharapan dan kenyataan sejarah, serta realitas pergumulan disekitar
mereka. Orang Yahudi tidak menemukan jalan keluar, namun mereka menyakini bahwa
hanya Allah satu-satunya jalan keluar yang datang turun tangan untuk mendirikan
kerjaan-Nya melalui utusan yang diurapinya. Kerajaan yang didalamnya musuh akan
dibinasakan dan Israel akan menerima kedaulatan serta kekuasaaan untuk
selamanya. Itulah keyakinan dan amanat para penulis apokaliptik.[28]
Helenisasi yang dilakukan
pemerintah Yunani mengakibatkan antara lain: sinkretisme (percampuran paham
agama). Sinkretisme yang dimaksud merupakan percampuran paham agama Babel,
Persia, dan Yunani. Emmerson mengatakan percampuran agama dibiarkan terus
berlangsung, sehingga Yudaisme dan helenisme dapat hidup berdampingan. Akan
tetapi, sebagian orang Yahudi melihat perkembangan itu sebagai ancaman besar
bagi kehidupan Yahudi.[29]
Itulah sebabnya muncul kelompok-kelompok Yahudi yang berjuang melawan helenisme
dan mempertahankan keyakinannya kepada Tuhan (kelompok Hasidim). Tidak mengherankan jika Apokaliptik Kitab Daniel 11
terutama ditujukan kepada kelompok orang-orang Yahudi yang setia kepada
Tuhannya.[30]
Sementara orang-orang Yahudi
menghadapi kenyataan sejarah yang didominasi oleh helenisme, orang-orang Yahudi
hidup dalam penantian akan datangnya zaman keemasan yang dijanjikan para nabi.
Zaman keemasan yang dinanti-nantikan itu ialah Kerajaan Allah yang akan
membinasakan musuh-musuh orang-orang Yahudi, sementara orang-orang Yahudi menerima
kedaulatan dan kekuasaan untuk selama-lamanya.
Kelaliman pemerintah Yunani dan penderitaan bangsa Israel mencapai
puncaknya ketika Antiokhus Epifanes IV dari dinasti Seleukid memerintah pada
tahun 175-163 sM. Antiokhus secara paksa memerintahkan agar bangsa Yahudi
(Israel) meninggalkan kebudayaan dan keyakinannya dan beralih kepada helenisme.
Mereka yang melawan perintah ini dibunuh. Puncak penghinaan Antiokhus terjadi ketika
Antiokhus menajiskan Bait Allah dan merampas semua barang berharga di dalamnya.
Antiokhus menempatkan altar dewa Zeus di atas altar
Bait Allah, lalu mereka mempersembahkan daging babi di atas altar itu (2 Makabe
6:2; Daniel 11:31; 12:11).
Keadaan seperti ini mengingatkan orang akan situasi zaman pembuangan di
Babel pada abad ke-6 sM
(Nebukadnezar disebutkan dalam Kitab Daniel dan tidak menunjuk kepada Raja
Babel, tetapi Kaisar Antiokhus IV). Sementara mereka menghadapi
kenyataan sejarah yang didominasi oleh helenisme yang kejam, mereka pun hidup dalam penantian akan
datangnya zaman keemasan yang dijanjikan para nabi. Zaman keemasan yang dinanti-nantikan itu ternyata begitu terlambat
datangnya. Semua itu menempatkan orang Yahudi di bawah tekanan berat. Semua tekanan dan penderitaan
yang mereka alami menyebabkan terjadinya krisis identitas pada orang Yahudi
sebagai satu bangsa pilihan Allah. Jalan satu-satunya untuk keluar dari krisis yang mereka alami hanyalah
jika Allah sendiri turun tangan untuk menghukum para penindas dan mendirikan
kerajaan-Nya, untuk selama-lamanya. Kitab Daniel
merupakan jawaban dan pernyataan Allah terhadap umat. Melalui cerita tokoh
Daniel, penulis apokaliptik bermaksud memberikan pengharapan akan kemenangan
kerajaan Allah. Kerajaan Allah akan diberikan kepada
orang-orang kudus milik Yang Maha Tinggi (Dan. 7:18). Seperti
halnya yang dikatakan oleh Barnabas Ludji bahwa:
Kitab Daniel bertujuan membangkitkan semangat orang-orang
percaya dan juga orang-orang yang bimbang pada masa pemerintahan Antiokhus IV
yang lalim itu. Menurut Kitab Daniel, hikmat yang dianugerahkan Allah jauh
lebih unggul daripada hikmat dunia (helenisme).
Orang-orang yang menerima hikmat Allah akan memperoleh kemenangan dalam
kerajaan Allah yang kekal. Kerajaan dunia yang lalim akan berakhir dan
digantikan oleh kerajaan Allah.[31]
Jadi, penantian akan kedatangan Kerajaan Allah bukan
untuk generasi di luar zaman penulis sastera apokaliptik, tetapi generasi
penulis sendiri. Latar belakang sejarah penulisan
apokaliptik Kitab Daniel ialah penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi
baik dari segi politik, ekonomi, budaya, dan kepercayaan, yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Tujuan dari tulisan apokaliptik adalah
untuk memberikan penghiburan dan menguatkan hati bangsa Israel untuk tetap
berharap kepada Allah.
2.4 Ciri
dan Sifat Kitab Daniel
Sebagai tulisan apokaliptik, maka
Kitab Daniel berisikan: penggunaan
bahasa dan lambang secara simbolis, menekankan peranan malaikat dan menekankan
mengenai eskatologi atau kedatangan zaman keselamatan.
2.4.1 Menggunakan Bahasa dan Lambang Simbolis
Salah satu ciri dari sastra
apokaliptik yang membuatnya mudah dikenali adalah banyak menggunakan bahasa
simbolis. Kadang bahasa simbolis yang digunakan mudah dimengerti namun kadang
sulit dipahami. Simbol-simbol yang sering dipakai adalah binatang-binatang, manusia,
dan makhluk-makhluk mitologi, dan angka-angka. Hal tersebut dapat terlihat dalam Kitab Kitab Daniel yang memakai nama-nama binatang untuk
menyebutkan nama empat Negara.[32]
Misalnya, singa dan sayap burung rajawali adalah lambang untuk Keraajaan Babel
(Dan. 7:4); Beruang yang besar adalah lambang untuk Kerajaan Media-Persia (Dan.
7:5); Macan tutul dengan empat sayap burung adalah lambang untuk Kerajaan
Yunani (Makedonia) milik Aleksander (Dan. 7:6); binatang yang keempat dalam Daniel
7:7-8, tidak disebutkan namanya, tetapi binatang tersebut dijelaskan sangat
menakutkan, mendahsyatkan, dan memiliki tanduk sepuluh adalah lambang untuk
kerajaan Yunani (Seleukid).[33]
2.4.2 Adanya Peranan Malaikat yang Penting
Dalam Kitab Daniel adanya penekankan sifat supranatural dari wahyu
yang diberikan. Aspek supranatural ini diperlihatkan melalui sosok malaikat
yang mewarnai tulisan-tulisan apokaliptik. Sosok malaikat dalam tulisan
apokaliptik memiliki peran penting yang membuat mereka menonjol. Misalnya,
dalam Kitab Daniel kita dapat menemukan dua tokoh malaikat yaitu Gabriel
(Daniel 8:16) dan Mikhael (Daniel 12:1).[34] Gabriel
memberikan penglihatan kepada Daniel mengenai tujuh puluh tahun dan
menyingkapkan bahwa tujuh puluh tahun adalah benar-benar tujuh puluh minggu
dari tahun-tahun di atas yang mana keadilan akan ditegakkan dan bait Suci
dikuduskan kembali. Daniel mengalami penglihatan mengenai masa depan yang
diberikan malaikat Allah (Dan. 7 & 8). Malaikat itu memberikan penglihatan
sejarah yang meliputi: empat raja Persia; Alexander yang Agung; empat kerajaan
setelah pecahnya kerajaan Alerander, peperangan, intrik, dan aliansi yang
terjadi di antara wangsa Seleukid dan Ptolemies; kebangkitan dan karier
Antiokhus IV yang terkenal yang secara brutal mengorbankan orang Yahudi dan
menodai bait Suci mereka; dan pembenaran akhir dari Hasidim yang merupakan orang-orang
saleh Israel. Oleh karena itu, malaikat itu mengatakan kepada Daniel untuk
merahasiakan kata-kata tersebut dan memateraikannya sampai "hari terakhir."
Pandangan historis di bagian midras dan apokaliptik dari Kitab Daniel pada
dasarnya adalah sama. Apa yang diikuti adalah tradisi Yahudi yang salah mengenai
urutan kerajaan dan raja. Dengan demikian, dalam Bagian pertama yang bersifat
midrastik, urutan raja adalah: Nebuchadnezzar (Dan. 1-4), Belsyazar (Dan. 3),
dan Darius dan Cyrus (Dan. 6). Dalam
apokaliptik Bagian Dua, urutannya adalah: Belsaz-zar (Dan. 7-8), Darius (Dan.
9), dan Cyrus (Dan. 10-12).[35]
2.4.3 Kerajaan Allah Disamakan dengan Kerajaan manusia
Sebutan “anak manusia” dalam Daniel
pasal 7, masih banyak menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ahli
teologi, hal itu dikarenakan kepentingannya bagi kristologi dan penelitian
Perjanjian Baru. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sebutan “anak
manusia” dalam Daniel pasal 7 dipakai sebagai suatu gelar ataukah sekedar suatu
gambaran mengenai seseorang yang digambarkan demikian?[36]
Istilah “yang Suci dari Yang Mahatinggi” Daniel “putra manusia”, memperkuat kesan bahwa
kedua istilah tersebut menunjukkan entitas yang sama. Yang menjadi
pertanyaannya, apakah putra manusia hanya simbol dari ‘yang Suci’? Daniel siapa
'orang-orang Suci'? Kata ‘yang Suci’ dalam Bahasa Aramaik memakai kata ‘qaddisin’ (Ibrani= q'dosim ‘yang Suci’) digunakan dalam PL Daniel literatur Yahudi
intertestamental terutama untuk menunjukkan para malaikat meskipun juga digunakan
untuk manusia. Secara linguistik, kemudian, 'yang Suci' dari Daniel 7 mungkin
adalah Israel atau malaikat. Frasa ‘orang-orang Suci dari Yang Mahatinggi’ dalam
Daniel 7:27, merupakan pertanda penting dalam perdebatan penafsiran, walaupun
sedikit ambigu. buktinya, karena dapat diperdebatkan bahwa hal tersebut
cenderung membedakan antara 'manusia' sebagai anak manusia Daniel 'orang-orang Suci'
sebagai mahluk surgawi, ataukah sama, bahwa karena baik 'orang-orang Suci'
Daniel ‘yang Suci’ diberi kekuasaan, istilah-istilah itu identik sama. Seluruh
perdebatan semakin dipersulit oleh kemungkinan bahwa Daniel 7:15-22 mengandung,
beberapa ekspansi sekunder dari narasi asli. Dengan demikian, 'yang Suci' Daniel
'orang-orang Suci' dapat dianggap sebagai istilah yang setara, tetapi dalam
sumber yang berbeda, untuk kelompok yang sama. Dalam Daniel 7:21-22, dikatakan
bahwa tanduk itu berperang dengan yang Suci Daniel menang atas mereka, tampaknya
bagian itu mendukung pandangan bahwa ‘yang Suci’ adalah manusia. Di sini, Noth
berpendapat bahwa ayat-ayat itu bersifat sekunder (terutama dengan alasan bahwa
"orang-orang Suci" tidak dapat berarti 'malaikat'), namun dalam Dan.7:25,
di mana, pada argumennya, teks itu harus merujuk pada malaikat, karena hal
tersebut kemungkinan mengacu pada referensi dalam Dan.8:10-13. Sedangkan bukti di pasal 7 lebih kuat mengacu
kepada anak manusia.[37]
Dalam 7:24 dikatakan ada kata ‘orang
Suci’. kata ‘orang Suci’ ini berarti merujuk kepada ‘malaikat’. (Orang-orang
yang kudus 'dalam ay. 24 mungkin memiliki referensi manusia, tetapi teks ini
diakui terlalu berlebihan). Moore, dan Delcor, telah mengusulkan bahwa pasal 8 berbicara
mengenai Panteon dewa-dewa kafir yang telah dihancurkan (pada pasal 11:8 ‘raja
di selatan’ membawa dewa-dewa tersebut ke Mesir). Serangan ini memuncak dalam
serangan terhadap pangeran mereka, yang mereka maksudkan sebagai Tuhan Yahudi.
Ada bagian yang sama di pasal 11:36, di mana raja akan “memperbesar dirinya di
atas setiap dewa, dan akan berbicara hal-hal yang menakjubkan melawan Allah
para dewa”; di sini juga disinggung mengenai peranan para malaikat atau dewa
kafir. Argumen dalam hal ini juga seimbang, ketika Antiokhus tampaknya
berperang melawan orang-orang Yahudi, tetapi mungkin juga malaikat, di pasal 7 Daniel
melawan malaikat atau dewa kafir di pasal
8. Pembaca dapat mencapai interpretasi yang konsisten jika, seperti yang
disarankan Collins, yaitu menyebut 'yang Suci' dalam pasal 7 dan 8, dan 'orang
banyak' di pasal 8, sebagai malaikat. Collins telah memperdebatkan 'pola
keterkaitan' umum dalam pasal 7-12. Menurut Collins, karena Antiokhus
digambarkan dalam Daniel sebagai orang yang berperang melawan para malaikat, maka
hanya ada satu keberatan untuk mengartikan 'orang-orang Suci' sebagai malaikat
di pasal 7, yaitu frasa orang-orang Suci di Daniel 7:27. Akan tetapi, sejak
Collins berpendapat mengenai kesatuan pada pasal 7, yang merujuk pada kata-kata
“Israel atau manusia”. Maka, sebagai jalan keluar dari dilema ini Collins
menawarkan dua pilihan hipotesa; kerajaan surgawi telah berbaur dengan Israel.[38]
Collins menyimpulkan bahwa
orang-orang dari para Suci adalah orang Yahudi yang setia yang berbagi dalam
kemenangan eskatologis dari para penghuni surgawi. Penglihatan Daniel dalam
pasal 7 dan 12 menurut Collins menggunakan simbolisme vertikal, orang-orang
Yahudi dilambangkan sebagai seorang lelaki atau 'anak laki-laki' surgawi. Collins
menguraikan teorinya lebih jauh dengan interpretasi yang sangat penting untuk
pemahamannya tentang penglihatan Daniel, tentu saja mengenai apokaliptik.
Collins mengusulkan bahwa visi tidak terkait dengan eschaton temporal, yaitu
pemenuhan proses historis, sama seperti transformasi vertikal eksistensi
manusia, dengan dimensi pengalaman saat ini. Untuk menempatkan hal ini dengan
cara lain, penglihatan-penglihatan mampu melepaskan diri dari kenyataan duniawi
tidak dalam waktu dekat, tetapi ke dalam dimensi surgawi saat ini. Keadaan
terakhir dari 'orang-orang kudus' tersebut bukanlah kemunculan historis suatu
Kerajaan Israel, tetapi sebuah tatanan surgawi.[39]
Jika 'orang-orang Suci' adalah
Israel, apakah ‘putra manusia’ simbol bagi bangsa Israel, atau seorang individu
dalam dirinya sendiri? Daniel 10:20-21 mewakili urutan kerajaan sebagai juga
gambaran surgawi antara pangeran kerajaan ini. Daniel 12:1, Mikhael digambarkan
sebagai 'pangeran besar yang bertanggung jawab atas orang-orangmu'. Kata 'Anak
manusia' jelas digunakan dalam Perjanjian Lama (misalnya, Maz. 8) yang berarti
‘manusia’, dan sering dipakai dalam penglihatan
pasal 7 yang kontras antara sosok manusia dengan binatang yang
melambangkan kerajaan sebelumnya. Menurut Kejadian 1:26, manusia diciptakan
untuk berkuasa atas semua binatang. Tetapi jika binatang di pasal 7
melambangkan raja dan bukan kerajaan, tidak seharusnya ‘putra manusia’ juga
menjadi tokoh kerajaan, mungkin bisa dipakai untuk seorang 'mesias’.[40]
Menurut II Barukh 30:1 dan IV Ezra 14:9, menjelaskan bahwa Sang Mesias yang
dipikirkan para penulisnya adalah seorang tokoh insan di bumi, yang dipilih
Allah untuk mengambil bagian dalam kemenangan Kerajaan-Nya. Hal tersebut
sejalan dengan pengharapan Yahudi yang umum dipegang mengenai datangnya seorang
Mesias yang akan menjadi raja mereka.[41] Bahkan
di dalam Perumpamaan-perumpamaan Henokh, “anak manusia” disamakan dengan tokoh
Henkoh yang terangkat ke sorga, hal itu menunjukkan bahwa, pada saat
penulisannya, kapanpun, gagasan mengenai “anak manusia” mencakup juga gagasan
mengenai seorang manusia yang ditinggikan di sorga berikut kehidupannya
sebelumnya di bumi.[42]
Collins dan Lacocque telah
menyarankan bahwa sosok Mikhael dalam pasal 12 sama dengan ide dari 'son of man' pada pasal 7. Schmidt pada
tahun 1900 juga telah menyarankan bahwa kemunculan Mikhael sebenarnya telah
terlihat di pasal 7, dan pada pasal 10:20 -21 disebut sebagai pangeran Israel.
Dapat disimpulkan, bahwa 'putra manusia' kemungkinan besar berfungsi sebagai
simbol bagi 'orang-orang Suci' manusia, meskipun tidak ada kepastian dan tidak
ada konsensus mengenai masalah ini. Kemungkinan, The 'son of man' sebagai sosok
yang diambil dari mitos terpisah dari fungsi 'son of man' adalah pertanyaan
tentang asal-usul simbolisme dalam suatu mitologi.[43]
Jadi, sebutan “anak manusia” tidak
dipakai sebagai suatu gelar, baik itu mesianis maupun bukan, di dalam
tulisan-tulisan Yahudi. Sebutan “anak manusia di dalam Dan.7 merujuk kepada
orang-orang Israel yang setia kepada Allah dan bertahan dalam mempertahankan
iman mereka dalam menghadapi penindasan dari penguasa yang lalim (Antiokhus
Epifanes IV).
2.4.4 Gagasan Dualisme
Salah satu ciri yang paling
menonjol dari tulisan apokaliptik yaitu adanya gagasan dualisme. Maksudnya
adalah periode dunia ini diikuti oleh apa yang akan datang dan apa yang tengah
terjadi. Peristiwa-peristiwa yang harus terjadi pertama-tama disusun dalam
sejenis jadwal. Sehingga para pembacanya mengetahui, dan dapat menyusun melalui
pengamatan tanda-tanda zaman, di titik mana dalam perjalanan sejarah pembaca
hidup sekarang. Periode keselamatan yang akan datang akan didahului oleh
bencana-bencana di seluruh dunia. Akan tetapi, berbagai gagasan tersebut tidak
diselaraskan satu sama lain dalam rinciannya, sehingga pembaca menemukan
figur-figur Juruselamat yang berlainan (Mesias, anak Manusia), dan
pengharapan-pengharapannya pun berbeda-beda. Namun, tujuan dasar dari hal
tersebut yaitu dalam kesusahan masa kini, pengetahuan mengenai kemuliaan yang
akan datang harus disampaikan kepada pembaca, supaya mereka tidak goyah
melainkan dengan teguh mentaati perintah dan dengan demikian memiliki harapan
dibebaskan dari penghakiman yang akan datang. Gagasan-gagasan mengenai
dualisme, banyak ditemukan di dalam dokumen-dokumen Qumran yang ditemukan dekat
Laut Mati.[44]
2.4.5 Penggunaan Nama Penulis Samaran
Ciri sastra apokaliptik adalah
memakai nama penulis samaran. Tulisan yang penulisnya menggunakan nama samaran
dikenal dengan istilah pseudonim. Pemakaian nama samaran
merupakan hal yang lazim dan tidak hanya terjadi di lingkungan
penulis Yahudi saja, tetapi juga di
dunia Yunani dan Romawi. Dengan menggunakan nama samaran,
biasanya nama figur-figur dari masa lampau yang dihormati, maka tulisan-tulisan
apokaliptik mendapatkan otoritas dan dihadirkan sebagai tulisan-tulisan yang
memprediksikan masa depan yang sedang digenapi.[45] Selain
itu, dengan memakai nama samara, maka para penulis apokaliptik mampu untuk
berdiri di zaman lampau dan dari tempat itu, mereka menggambarkan, kendatipun
dengan memakai ungkapan-ungkapan rahasia, perjalanan generasi-generasi
mendatang sampai pada zamannya sendiri.[46]
Bagi sebagian penulis apokaliptik,
pemakaian nama samara jelas lebih daripada sekedar mengikuti kebiasaan umum
penulisan sastra. Namun, untuk para penulis lainnya pemakaian nama samara
menunjukkan pemahaman yang dalam mengenai asal-usul dan perantara penyataan
Allah. Penulisan Kitab-Kitab apokaliptik dengan memakai nama samaran sebagai
penulisnya merupakan suatu perantara murni untuk menyingkapkan rahasia-rahasia
Allah yang tersembunyi. Hal ini merupakan suatu maklumat bahwa kebenaran yang
disingkapkan pada zaman dulu akhirnya sampai pada pemenuhannya.[47]
2.4.6 Masa lampau, Masa Kini, dan Masa Depan
Para
penulis apokaliptik bisa melihat tangan Allah di dalam semua peristiwa pada
zaman mereka, karena mereka merupakan orang-orang yang berwawasan yang melalui wahyu
Allah, telah diperlihatkan dengan jelas apa yang masih akan terjadi. Para
penulis apokaliptik menafsirkan kejadian-kejadian di dalam sejarah dari sudut kekekalan. Mereka
melihat makna dan penghakiman di dalam sejarah karena pada akhir dari semuanya yang
sedang berlangsung terletak tujuan dari semuanya itu yang sudah ditakdirkan dan
ditentukan sebelumnya oleh Allah, yang dari sudut-Nya seluruh sejarah akhirnya
menjadi berarti. Arti yang sebenar-benarnya dari sejarah bagi mereka terletak
pada akhirnya, pada penyempurnaannya, pada pemenuhannya di dalam kedatangan
Kerajaan Allah.[48]
Para
penulis apokaliptik melihat Kerajaan Allah sebagai suatu peristiwa masa depan;
tetapi bagi Paguyuban Qumran, kehidupan kekal yang menjadi tanda Kerajaan Allah
adalah sesuatu yang malah mereka sudah miliki pada masa kini. Kerajaan Allah merupakan
sesuatu yang akan datang dan lain dari dunia ini dalam artian bukan manusia
yang menerobos mencapai Allah, tetapi Allah sendiri yang menerobos untuk
mendapatkan manusia. Bukan suatu rancangan kegiatan manusia yang berhasil
mencapai tujuannya, tetapi maksud dan rencana Allah yang mencakup segalanya;
bukan usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan, tetapi tindakan Allah untuk
mewujudkan keselamatan.[49]
2.4.7 Kesimpulan
Jadi, berdasarkan ciri-ciri yang
dimiliki oleh Kitab Daniel seperti penggunaan nama samaran penulisnya,
penggunaan lambang atau simbol (angka, binatang, dll), adanya konsep dualisme,
maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Kitab Daniel adalah Kitab Apokaliptik.
Adapun tujuan Kitab Daniel ditulis adalah untuk menguatkan iman orang-orang
Israel dan memberikan penghiburan kepada mereka dalam menjalani penderitaan
yang mereka alami dibawah kekuasaan asing.
2.5 Pembagian
Kitab Daniel
Kitab Daniel yang dikenal dan digunakan oleh agama Yahudi dan Kristen
saat ini, tidak terbentuk begitu saja. Akan tetapi Kitab Daniel telah mengalami
peredaksian beberapa kali, sampai akhirnya terbentuk sebagai suatu kitab yang
utuh saat ini. Berikut peredaksian dari Kitab Daniel:
1. Peredaksian
pertama (R1) yaitu Daniel 1-6, pengumpul menggabungkan semua
pesan-pesan dari masa Babel (Nebukadnezar dan Belsyasar) – Media Persia
(Darius-Koresy), yang berisikan pesan yaitu setia pada iman. Kemudian diredaktur
oleh pengumpul terakhir yaitu pada masa Persia dalam Bahasa Aram menjadi ‘Kitab Kumpulan
Cerita tentang Daniel’.
2. Peredaksian
kedua (R2) yaitu Daniel 1-7, Kitab Daniel ditulis dalam Bahasa
Aramik. Pada peredaksian kedua ini, terjadi yang namanya eskatologisasi Kitab
Daniel pada pasal keenam yang direkadsi oleh redaktur sehingga membentuk struktur
historis.
3. Peredaksian
ketiga (R3) yaitu Daniel 1-12. Pada peredaksian ketiga ini, dibagi
menjadi dua bagian. Peredaksian bagian pertama (R3a)
yaitu mengenai Kitab Daniel sebagai tulisan apokaliptik dari pasal 1-12. Peredaksiannya
terjadi pada masa Antiokhus IV (abad 2 sM) dalam lingkungan gerakan
apokaliptik. Menurut peredakturnya pasal-pasal dalam Kitab Daniel merupakan
kumpulan atau gabungan dari tiga bagian, yaitu pasal 1-7, pasal 8 & 9
(berisi mengenai visi dan doa), lalu pasal 10-12, yang dikomposisikan menjadi
satu. Peredaksian bagian kedua (R3b) yaitu peredaksian
bagian terakhir setelah Antiokhus IV. Sang redaktur menyisipkan beberapa ayat
ke dalam Daniel 1-12 untuk menyatakan bahwa nubutanan itu benar (Dan. 8:13-14;
9:2, 4a, 8, 9b-14, 20; 10:15-11:1, 12:5-7).
Kitab Daniel merupakan salah
satu sastera apokaliptik secara utuh dalam Alkitab Agama Kristen. Ada ahli yang mengatakan bahwa tidak seluruh Kitab
Daniel yang apokaliptik. Argumentasi tersebut berdasar dari Pasal 1-6 yang dianggap sebagai sejarah abad ke-6 s/d 4 sM
(Babel dan Persia). Akan tetapi pandangan yang demikian tidak
memiliki argumentasi yang kuat, sebab salah satu ciri tulisan-tulisan apokaliptik yaitu sering menyebutkan sejarah ataupun nama kerajaan
yang sudah tidak ada pada masa itu.[50]
Berikut pembagian Kitab Daniel menurut Pandangan yang membagi Kitab
Daniel menjadi dua bagian:
1. Bagian Kitab Daniel Bersifat Historis
Daniel 1:1-21 :
Daniel dibuang ke Babilonia dan pendidikannya di istana raja
Daniel 2:1-49 : Pemberitaan mimpi raja Nabukadnezar
kembali dan artinya disampaikan oleh Daniel.
Daniel 3:1-30 : Penyelamatan
teman-teman Daniel dari perapian yang menyala-nyala.
Daniel 3:31-4:34: Mimpi
raja Nebukadnezar mengenai sebatang pohon yang
tinggi, tetapi ditebang.
Daniel 5:1-6:1 : Tulisan yang sangat misterius pada waktu
perjamuan makan raja Belsyazar dan
kehancuran kerajaan Babilonia.
Daniel 6:2-29 :
Penyelamatan Daniel dari gua singa.
2. Bagian Kitab Daniel yang
Bersifat Futuris
Daniel 7:1-28 : Mimpi Daniel mengenai
keempat binatang dan mimpi
penglihatan
akan “Anak Manusia”.
Daniel 8:1-27 :
Penglihatan Daniel akan seekor domba jantan.
Daniel 9:1-27 : Nubuatan mengenain tujuh puluh
kali tujuh masa atau 490
tahun.
Daniel
10:1-12:13 : Penglihatan yang besar,
yang dialami Daniel di tepi sungai mengenai kehancuran kerajaan
Persia dan permulaan kehadiran kerajaan Allah.
Pasal 1-12 dari Kitab Daniel bertujuan untuk memberikan dorongan dan
penghiburan bagi kelompok Yahudi Hasidim yang sangat menderita karena iman
mereka. juga berbicara tentang kelepasan dan
kebangkitan kembali mereka yang telah tidur di dalam debu tanah. Daniel 12:1-4;
orang-orang bijaksana yang menuntun banyak orang kepada kebenaran akan mendapat
kemuliaan besar. Relevansi Kitab Daniel terletak pada
sikap tetap setia kepada Allah, walaupun penderitaan yang luar biasa menimpa
umat-Nya. Kuasa jahat pasti akan hancur walaupun masanya tidak dapat ditentukan
oleh manusia, karena Allah pasti akan tampil sebagai pemenang. Itulah berita penghiburan bagi umat percaya
yang sedang mengalami cobaan berat.[51]
2.6 Struktur
Kitab Daniel
Mempelajari struktur sebuah tulisan biasanya akan bersentuhan dengan isu
tentang kesatuan pesan yang ada dalam tulisan tersebut dan identitas penulis.
Bagian ini akan melihat beberapa pandangan yang berkembang di dalam kekristenan
mengenai struktur dari Kitab Daniel.
Di dalam struktur Kitab Daniel ada
2 perbedaan yang cukup jelas dari pasal-pasal dalam Kitab Daniel:
1.
Berdasarkan bahasanya. Pasal 2-7 ditulis
dalam bahasa Aram sedangkan pasal 1, 8
-12, ditulis dalam bahasa Ibrani.
2.
Berdasarkan genrenya. Pasal 1-6 ditulis
berkaitan dengan hikmat dari kerajaan Babel dan Persia, sedangkan pasal 7-12
berkaitan penglihatan yang bersifat apokaliptik.
Yang membuat perbedaan ini lebih
kepada bahasa dan pembagian genre tidak serupa satu dengan yang lainnya. Pasal 7
merupakan titik pengantar antara 2 perbedaan tersebut. Ada genre yang sama pada
penglihatan di pasal 8-12 dan juga bahasa yang sama, yaitu bahasa Aram. Hal ini
penting untuk mengetahui Kitab Daniel secara keseluruhan. Penempatan pasal 7
penting untuk menhubungkan bagian sejarah dan penglihatan dalam Kitab Daniel.
Hal ini mengingatkan bahwa sifaf apokaliptik yang alKitabiah erat kaitannya
dengan sejarah yang terjadi di dalam AlKitab.
2.6.2 Menurut John Goldingay[53]
Setiap pasal dalam Kitab Daniel
saling memiliki hubungan satu sama lainnya. Ada sejumlah cara untuk mengerti
struktruk Kitab Daniel secara keseluruhan. Meskipun demikian, tidak dapat katakan
salah satu cara tersebut itulah yang dimaksudkan oleh penulis Kitab ini, tetapi
setiap cara tersebut memampukan pembaca untuk menerima setiap aspek dari Kitab
Daniel.
Dalam terjemahan bahasa Inggris, Kitab
Daniel sering dibagi dalam rangkaian cerita/narasi dan rangkaian
penglihatan. Dalam bagian yang lebih
dulu, Kitab Daniel melibatkan 3 orang muda lainnya (teman-teman Daniel),
sementara itu di bagian lain hanya Daniel sendiri. Dalam bagian awal, mencakup
rangkaian pesan-pesan Allah kepada raja-raja dan Daniel yang menafsirkannya,
sedangkan bagian lebih lanjut, rangkaian pesan yang diberikan kepada Daniel dan
ditafsirkan yang berhubungan dengan sorgawi. Rangkaian peristiwa yang terjadi
dalam Kitab Daniel terdiri dari kisah-kisah yang bersifat kronologis yang
berhubungan dengan pemerintahan dari 4 kerajaan. Pembagian lainnya berhubungan dengan
bahasa yang digunakan secara bergantian bahasa Ibrani – Aram. Pasal 7 merupakan
bagian pusat/tengah keseluruhan Kitab Daniel yang menghubungkan dua bagian yang
berbeda (pasal 1-6 / bagian pertama
diapit pasal 7 ke pasal 8-12/bagian
kedua). Peristiwa-peristiwa dalam Kitab Daniel dimulai dari pasal 1 ke
pasal-pasal berikutnya semakin berkembang menuju klimaksnya hingga pasal 6.
Sedangkan mulai pasal 7 – 12 menyatakan penglihatan-penglihatan melalui Daniel.
2.6.3 Menurut Joyce G. Baldwin[54]
Telah dibuktikan bahwa Kitab
Daniel adalah satu kesatuan dan bahwa Kitab ini dianggap sebagai Kitab
apokaliptik. Jika hal ini diterima demikian, maka strukturnya menunjukkan
kesatuannya dan setidaknya dilakukan dalam 2 cara:
1. Kitab Daniel
memiliki pola yang dapat dilihat.
Hal ini telah dikemukakan dalam
diskusi kesatuan Kitab Daniel. Di sini pembaca melakukan tidak lebih dari pada
menyatakan bahwa perubahan bahasa dari Ibrani ke Aram dan kembali lagi ke
Ibrani adalah disengaja pada bagiannya oleh penulisnya sendiri, yang mengadopsi
gaya sastra yang ditemukan dalam buku-buku atau Kitab-Kitab lainnya dari
kelompok Timur Dekat Kuno.
Tambahan dari pola ABC (susunan
strukturnya) di dalam seluruh strukturnya, adalah jelas hal ini merupakan
susunan karya tulisan dalam bagian Kitab bahasa Aram, sebagai bentuk “A”.
Lenglet telah melakukan hal ini. Dia
menunjukkan bahwa hal ini disebut sebagai susunan konsentris dari materi
pokoknya, dengan keseimbangan pembagian pasal-pasalnya: pasal 2 dan 7 mewakili
4 kerajaan. Pasal 3 dan 6 narasi atau kisah yng menunjukkan kuasa Allah yang
membebaskan hamba-hamba-Nya, dan 2 pasal di tengahnya (pasal 4 dan 5) menyatakan
keputusan Allah atas penguasa-penguasa yang sombong. Penekanannya bahwa bagian
tengah tersebut adalah pesan klimaksnya, karena Allah surgawi menghendaki
diri-Nya dikenal sebagai Penguasa dunia ini. 6 pasal pertama sebagai suatu
bentuk teologi sejarah yang utuh, yang ditujukan kepada raja-raja bumi dan oleh
sebab itu ditulis dalam bahasa antar bangsa. Anggapan Lenglet yang melihat
dalam susunan pasal yang disengaja ini dengan pasal-pasal yang ditulis dalam
bahasa Ibrani, cukup menolong pembacanya karena Kitab ini ditujukan kepada
orang-orang Yahudi. Struktur ABC – CBA menggambarkan perhatian pada kelengkapan
bagian tulisan dalam Kitab yang lebih luas. Hal ini dimulai dengan masalah yang
terjadi di istana Babel dan jalannya peristiwa tersebut menunjukkan bahwa
manusia Allah (hamba Allah) diperlengkapi dengan solusi/ jalan keluar terhadap
masalah yang terjadi.
Dalam bahasa Ibrani yang
menunjukkan kerangka bagi bagian bahasa Aram di pasal pertama (awal) merupakan
pasal pendahuluan, sebagai penyataan sejarah bagi kehadiran Daniel dan
teman-temannya di istana Nebukadnezar. Transisi bahasa dari Ibrani ke Aram (Dan.
2:4b) dibuat pada bagian-bagian yang cocok untuk hal ini, dan ini tidak begitu
ditekankan. Asumsinya adalah pembacanya memahami 2 bahasa (Ibrani – Aram; bdk.
2 Rj. 18:16). Pasal 8-12 berhubungan dengan penglihatan dengan simbol-simbol
baru yang menunjukkan tujuan dari penyataannya tentang kerajaan-kerajaan dunia
di Yerusalem, kota yang kudus, dan waktu akhir zaman (Dan. 8:17 bdk. 8:19;
11:35, 40). Struktur dari Kitab ini menghubungkan antar pasal dari keseluruhan Kitab.
Di akhir Kitab ini, penulis sekali lagi sebagaimana dalam pasal 2 dan 7,
membawa pembacanya untuk melihat kepada situasi akhir zaman.
2. Ada
keparalelan yang progresif.
Di samping pola yang dapat
dilihat, di dalamnya juga ada bentuk apokaliptik yang khas, yang juga
disampaikan secara sederhana dalam Kitab Zakharia dan juga dinyatakan secara
lengkap dalam Kitab Wahyu. Istilah “keparelelan progresif” digunakan oleh W.
Hendriksen dalam buku tafsirannya tentang Kitab Wahyu, tetapi pembaca telah
mulai memperkenalkan bentuk ini dalam paragraph-paragraf sebelumnya, karena
pasal 2, 7, 8, 9 dan 11, adalah membentangkan keparalelannya. Pasal-pasal ini
memperlihatkan ulang sebuah masa sejarah dengan mengartikan simbol-simbol yang
berbeda-beda; pasal 2 dan 7 merupakan
periode yang identik, sedangkan pasal 8, 9 dan 11 merupakan titik pangkal berikutnya,
dan ada pemusatan pada satu tema. Pasal 2 sedikit kompleks, sedangkan pasal 11
sangat detail.
2.6.4 Kesimpulan
Jadi, berdasarkan tiga pandangan
di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa Kitab Daniel merupakan satu kesatuan
antara pasal 1 sampai dengan pasal 12, alasanya yaitu pasal 1 sampai dengan
pasal 12 bertujuan untuk memberikan dorongan dan penghiburan bagi kelompok
Yahudi yang sangat menderita karena iman mereka. Adapun perbedaan penggunaan
dua bahasa dalam penulisan Kitab Daniel, hal tersebut tidak bisa dijadikan
ukuran untuk mengambil kesimpulan bahwa Kitab Daniel berbicara mengenai dua hal
yang berbeda, karena di dalam melihat Kitab Daniel harus dilihat secara
khomprehensif, sehingga pembaca bisa melihat maksud dan tujuan dari Kitab
tersebut.
2.7 Teologi
Kitab Daniel
Pembahasan tentang teologi Kitab
Daniel harus memperhatikan tujuan utama penulisan, yang sangat berkaitan dengan
kedaulatan Allah. Pertama,
kesombongan dan hukuman Allah.[55] Kitab
Daniel berkali-kali menyinggung tentang raja-raja yang sombong. Nebukadnezar menyombongkan
negara Babel yang di dirikannya (Dan.
4:30).
Belsyazar memegahkan dewa-dewanya ketika ia menyuruh para pegawai untuk
mengambil cawan-cawan rampasan dari bait Allah dalam pesta yang ia adakan (Dan.
5:2-4).
Arogansi juga ditunjukkan dalam tindakan 4 binatang (pasal 7), tanduk kecil
(pasal 8), raja-raja yang akan datang (Dan. 9:26-27; 11:36).
Hukuman TUHAN atas
orang-orang sombong diajarkan secara konsisten dalam Kitab Daniel. Nebukadnezar
sebagai raja ke-1 Babel direndahkan menjadi seekor binatang, sedangkan Belsyazar sebagai raja terakhir dikalahkan oleh Media-Persia.[56]
Tanduk kecil yang sombong (Dan. 7:8) akan dibinasakan Dan.
(7:26-27).
Raja dari Selatan yang memegahkan diri atas semua allah juga akan dibunuh
(11:45). Kedua, menanti janji TUHAN. Bagaimanapun,
janji ini masih membutuhkan waktu yang panjang untuk digenapi (Dan.
2:37-44;
9:24-25). Selama menanti penggenapan janji tersebut, bangsa
Yehuda akan tetap berada di bawah penjajahan bangsa Yunani. Bagaimana sikap
yang benar dalam menanti janji ini? Kitab Daniel memberikan beragam contoh yang
indah: (1) orang percaya harus menjaga diri dari semua pengaruh kekafiran (Dan.
1:1-21);
(2) orang percaya harus tetap menaati TUHAN, sekalipun resiko untuk melakukan
itu sangat besar (Dan. 3:16-18; 6:10-17); (3) orang percaya harus tabah
menghadapi semua penderitaan, karena hal itu merupakan cara TUHAN memurnikan
mereka (Dan. 12:2, 10-13; 9:24). Ketiga, pertentangan antara dua
kerajaan.[57] Kata “kerajaan” muncul sebanyak 41 dalam Kitab
ini, sedangkan kata “raja” sebanyak 204 kali. Pertentangan antara kerajaan
dunia dan kerajaan Allah sendiri dengan mudah dapat ditemukan di hampir seluruh
bagian Kitab Daniel. Walaupun bangsa Yehuda berada di bawah kekuasaan bangsa Yunani, tetapi intervensi
Allah yang berdaulat tetap terlihat dengan jelas. Allah membuat pemimpin
pegawai istana menyayangi (Dan. 1:9). Allah semesta langit (Dan.
2:18,
19, 37, 44) berkuasa memecat dan mengangkat raja (2:21, 37; 5:21-23). Kerajaan
Allah akan mengalahkan semua kerajaan manusia (Dan. 2:44). Allah berkuasa atas
segala raja (Dan. 2:47) dan kerajaan (Dan. 4:17). Dia disebut sebagai
Yang Mahatinggi sebanyak 12 kali (Dan. 4:17, 24, 25, 32, 34; 5:18,
21; 7:18, 22, 25, 27). Raja-raja Yunani yang sedang berkuasa
dipaksa mengakui kekuasaan TUHAN (Dan. 2:47; 3:28-29; 4:1-3, 34-35,
37). Pada akhir zaman Anak Manusia dan semua orang kudus akan memegang tampuk
pemerintahan dalam kemuliaan yang kekal (Dan. 7:13-14, 18, 22). Keempat,
kesetiaan TUHAN atas perjanjian.[58]
Doa Daniel di pasal 9 mengungkapkan keyakinan Daniel terhadap kesetiaan TUHAN.
Semua hukuman yang dijalani bangsa Yehuda merupakan bukti kesetiaan TUHAN
terhadap perjanjian, sekalipun untuk itu Allah terpaksa mengusir mereka dari
tanah perjanjian (Dan. 9:4, 14). Permohonan kepada Allah untuk merestorasi
umat-Nya didasarkan pada kemurahan dan pribadi Allah sendiri yang setia (Dan.
9:17-19),
bukan kesalehan maupun kualitas penderitaan umat Allah.
Teologi Daniel berpusat di sekitar konsep mengenai YHWH sebagai pengatur
zaman. Dalam mengembangkan pandangan ini, Kitab Daniel menempatkan seorang
pahlawan dari zaman klasik, menggambarkan nasibnya dalam periode paradigmatis
penghakiman terhadap orang-orang buangan Babel, membuat para penguasa asing
mengakui YHMW sebagai suatu kekuatan yang mengubah sejarah dan berpuncak pada suatu
akhir zaman yang prospektif. Sejarah tampak sebagai suatu proses yang dipandu
oleh YHWH, serentak bersifat misterius, bergerak kearah pengenalan akan Allah
secara mendunia dan berpuncak pada pemantapan Kerajaan Allah yang universal dan
abadi. Pada saat yang sama, kerajaan ini merelatifkan tiap kekuatan dan
kekuasaan manusia.
Sebagai sebuah ungkapan bagi universalitas Allah, Daniel jarang
menggunakan nama dari Allah PL, sebaliknya berbicara mengenai “Allah semesta
langit” (Dan. 2:19), “Yang Mahatinggi” (Dan. 4:17), “Allah Yang Mahatinggi”
(Dan. 5:18), “Raja Surga/Yang Berkuasa di surga” (Dan. 4:34 / Dan. 5:23), atau
hanya “Surga” (Dan. 4:26).
Sebagai sisi lain dari konsep mengenai universalitas dan transendensi
Allah, Daniel menyiratkan doktrin mengenai malaikat (angelologi). Para malaikat
muncul bukan hanya sebagai para pembebas dan anggota kerajaan surgawi,
melainkan juga sebagai para penjaga surgawi (Dan. 4:13), para utusan (Dan.
6:23), para pewahyu (Dan. 10:5), para penafsir (Dan. 9:22; 10:21), orang-orang
kudus (Dan. 7:18) dan para wakil bangsa-bangsa yang disajikan dengan nama-nama
diri (Dan. 9:21; 10:21; 12:1). Di antara mereka itu, anak manusia, yang akan
mengemban Kerajaan Allah pada akhir zaman (Dan. 7:13), muncul secara mencolok.
Kerajaan ini akan mengakhiri semua kekuasaan manusia, menandai akhir sejarah,
dan ditandai oleh kehidupan abadi bagi orang-orang benar.
Dari sudut pandang pengalaman-pengalaman negatif dalam dunia ini, sampai
tibanya Kerajaan Allah, pertanyaan berulang-ulang muncul secara baru bagi
orang-orang saleh mengenai kehadiran dan kebenaran Allah. Pertanyaan ini
diiringi oleh perlunya iman kepada Allah saja dalam dunia yang mengabsolutkan
dirinya sendiri dan gambaran-gambarannya. Perintah-perintah berkenaan dengan
peribadahan eksklusif dan larangan terhadap gambar-gambar merupakan
petunjuk-petunjuk bagi suatu kehidupan yang ditandai oleh hikmat dan kesalehan.
Sebagai tujuan hidup ini, harapan atas penghakiman terakhir dan atas
kebangkitan orang mati, yang muncul ke permukaan dalam bentuk begini untuk
pertama kalinya dan satu-satunya dalam PL. Berkembang bagi orang saleh dari
keyakinan bahwa Allah adalah setia. Harapan ini mengartikulasikan harapan atas
pahala dan persekutuan dengan Allah di dunia seberang melampaui kematian.[59]
[1]J.
Blommendaal, Pengantar kepada Perjanjian
Lama (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985), 165.
[2]S.M. Siahaan, dan Robert M. Peterson, Tafsiran AlKitab: Kitab Daniel: latar
belakang, tafsiran, dan pesan, ed. Rika Uli Napitupulu-Simarangkir (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2011), 11.
[3]Jan Christian Gertz, dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama dan
Deuterokanonika. Terjemahan ( Jakarta: BPK. Gunung Agung, 2017), 756-757.
[5]
Ibid, 25.
[6]Gerhard
F. Hasel, Kitab Daniel: Pedoman Pelajaran
Sekolah Sabat (Bandung:
Indonesia Publishing House, 2004), 5.
[7]D.S.
Russell, Penyingkapan Ilahi: Pengantar Ke
Dalam Apokaliptik Yahudi, alih bahasa: Ioanes Rakhmat (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2007), 22.
[8]Robert
H. Mounce, The New International Commentary on The New Testament, The Book
Revelation (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992),
18.
[9]Russell,
Penyingkapan Ilahi, 27-28.
[10]J.J.
Collins, The Apocalyptic Imagination: An
Introduction to Jewish Apocalyptic Literature (Grand Rapids, Mich.:
Eerdmans, 1998), Dirujuk dalam Jan Christian Gertz, dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam Kitab-Kitab
Perjanjian Lama dan Deuterokanonika. Terjemahan, 752.
[11]Barnabas
Ludji, “Apokaliptik”, Bahan Seminar di
Pascasarjana, STAKN Toraja pada 24 Juli, 2015.
[12] Herbert Lockyer, Ilustrated Bible Dictionary (New York: Thomas Nelson
Publisher, 1986), 71.
[13]Intertestamental
adalah masa antar perjanjian (dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru), di mana
di dalam masa ini, tidak ada seorangpun nabi yang dibangkitkan oleh Allah bagi
bangsa Israel. Masaintertestamental seringkali disebuntukan berlangsung selama
kurang lebih 400 tahun, dan pada masa itu bangsa Israel hidup di dalam
kegelapan hati mereka sendiri, karena mereka melakukan segala sesuatunya
berdasarkan keinginan sendiri bukan berdasarkan keinginan Allah. Sebab Allah
tidak berbicara secara langsung pada masa ini.
[14]
Istilah ‘kanon’ berasal dari Bahasa Yunani yang memiliki arti yaitu tongkat
pengukur. Istilah kanon dipakai menunjuk kepada suatu standar yang dipakai
untuk mengukur kitab-kitab mana yang ditentukan sebagai kitab yang
diinspirasikan oleh Allah. Seorang ahli teologi bernama Henry C. Thiessen juga
mengatakan bahwa istilah kanon dipakai oleh dewan gereja untuk mengambil
keputusan yang berwibawa dari dewan gereja, dan jika dikaitkan dengan Alkitab,
kanon berarti kitab-kitab yang telah diselidiki, dan dinyatakan memenuhi
syarat, serta diakui sebagai kitab yang diilhamkan oleh Allah sendiri. Elisama
Laia, “Pengharapan Umat Allah dalam
Apokaliptik Kitab Daniel serta Implikasinya Bagi Parousia Yesus Yang Ke-2”, Skripsi (Cianjur: STT SAPPI, 2017), 2.
[15]Russell,
Penyingkapan Ilahi, 13.
[16]John
R. Hinnells, A New Dictioanry
Of Religions (New Jersey: Blackwell Publishers, 1995), 30.
[17]Barnabas
Ludji, “Apokaliptik”, Bahan Seminar di
Pascasarjana, STAKN Toraja pada 24 Juli, 2015.
[18]Barnabas
Ludji, “Apokaliptik”, Bahan Seminar di
Pascasarjana, STAKN Toraja pada 24 Juli, 2015.
[19]Collins,
Tafsir Deuterokanonika 4, 19-22.
[20]H. Jagersma, Dari
Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, Sejarah Israel dari ± 330 SM –
135 M (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1994),
74.
[21]Wismoady
Wahono, Disini Kutemukan (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000), 275
[22]C.
Barth, Theologi Perjanjian LamaJilid 4
(Jakarta: Gunung Mulia, 1989), 132.
[23]Siahaan,
Tafsiran AlKitab, 15.
[24]Joyce
G. Baldwin, Tyndale OTC: Daniel
(Leicester: Inter-Varsity Press, 1996), 35.
[25]Tim
Meadowcroft & Nate Irwin, Asia Bible
Commentary Series; The Book of Daniel (Singapore: Asia Theological
Association, 2004), 8-10.
[26]Collins, Tafsiran Deu 4 Daniel, 11-17.
[27] Barnabas
Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2
untuk Studi Kritis (Bandung: Bina Media Informasi, 2009), 152-153.
[28]Eksiklopedia AlKitab Masa Kini Jilid, I,
alih bahasa: W.B. Sijabat (Jakarta: YKBK, 2007), 62.
[29]G.I.
Emerson: “Apokaliptik”, dalam
Eksiklopedia AlKitab Masa Kini, Jilid I A-L. J.D. Douglas (ed) ( Jakarta:
YKBK, 2001), 32.
[30]David
L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001), 117.
[31] Ludji,
Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, 154.
[32]
Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai
Bar Kokhba, 73-74.
[33]
Louis Hartman & Alexander A. Di Lella, The
Anchor Bible, The Book of Daniel (New York: Doubleday & Company, Inc,
1978), 5.
[34]Jarot Hadianto, “Apokaliptisme Menurut Uraian John J.
Collins,” Forum Biblika: Jurnal Ilmiah Populer, no
12 (2000): 12-15.
[35]Hartman,
The Anchor Bible, 5.
[36]Russell,
Penyingkapan Ilahi, 157.
[37]P.R.
Daves, Daniel, Old testament Guide (
England: JSOT, 1988), 101.
[38]
Ibid, 102.
[39]Ibid,
103.
[40]Ibid,
105.
[41]Russell,
Penyingkapan Ilahi, 156.
[42]Ibid,
164.
[43]Ibid,
106.
[44]
Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru,
337-338.
[45]
Harry Mowvley, Penuntun ke dalam
Nubuat Perjanjian Lama (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), 113.
[46]
Russell, Penyingkapan Ilahi, 92.
[47]
Ibid, 96.
[48]
Ibid, 177.
[49]
Ibid, 179.
[50]Barnabas
Ludji, “Apokaliptik”, Bahan Seminar di
Pascasarjana, STAKN Toraja pada 24 Juli, 2015.
[51]Barnabas
Ludji, “Apokaliptik”, Bahan Seminar di
Pascasarjana, STAKN Toraja pada 24 Juli, 2015.
[52]Meadowcroft,
Asia Bible Commentary Series, 13-14.
[53]John Goldingay, Word
Biblical Commentary: Daniel (Nashville: Thomas Nelson, 1996), 324-326.
[54]Baldwin,
Tyndale OTC, 59-63.
[55]Andrew E. Hill dan John H. Walton. A Survey of the Old Testament , 2nd ed (Grand Rapids:
Zondervan, 2000), 459.
[56]
Konteks Babel dan Persia di dalam Kitab Daniel, merupakan gambaran yang
menrujuk kepada kekuasaan Yunani. Pemakaian kata Babel dan Persia oleh penulis
Kitab Daniel dilakukan dalam upaya untuk mengingatkan kembali orang-orang
Israel mengenai keadaan mereka waktu di Babel dengan keadaan mereka pada zaman
Yunani ternyata sama. Sama-sama berada dibawah kekuasaan dan tekanan bangsa
asing.
[57]Longman III dan Dillard, dalam “Willem Van
Gemeren, Interpreting the Prophetic
Word” (Grand Rapids: Zondervan/Academie Books,
1990), 344-348.
[58]Willem Van Gemeren, Interpreting
the Prophetic Word (Grand Rapids: Zondervan/Academies Books, 1990), 350.
[59]Gertz, Purwa Pustaka, 756-757.
Post a Comment for " KITAB DANIEL SEBAGAI TULISAN APOKALIPTIK"